Mengamati Perilaku Para “Pemarah” di Jalan Raya
Kita sering melihat berbagai insiden di jalanan yang disebabkan para penggunanya, terutama para pengemudi kendaraan, terkesan tidak sabaran dan gampang marah. Apakah Anda termasuk golongan itu?
Misalkan Anda sedang menyetir mobil dan tahu-tahu Anda disalip dengan cara yang mengejutkan. Apakah reaksi spontan Anda? Apakah Anda hanya menarik napas dalam-dalam, mengelus dada atau istighfar, dan tetap tenang melanjutkan perjalanan.
Atau, Anda segera membunyikan klakson sebagai respons tidak suka kepada yang menyalip Anda, namun Anda bertahan dalam kondisi sebelumnya.
Ataukah Anda akan berkali-kali mengklakson, berusaha mengejar si penyalip, dan menurunkan jendela saat berhasil menyusul—untuk memakinya.
“Kehidupan di jalan raya” memang seringkali secara ajaib mengubah karakteristik seseorang. Seseorang yang biasanya tenang, dikenal sopan dan berakal sehat, terkadang bisa berubah menjadi “petarung” di belakang kemudi. Bila terprovokasi, mereka bisa meneriakkan kata-kata kotor, memberi isyarat dengan liar, membunyikan klakson dan melakukan manuver-manuver yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri maupun orang lain.
Seorang profesor psikologi dari Universitas Colorado bernama Jerry Deffenbacher, PhD, pernah melakukan penelitian tentang para pengemudi yang “pemarah” itu. Dikutip dari situs apa.org, risetnya itu mengungkapkan beberapa kecenderungan yang ditunjukkan para pengemudi yang mudah tersulut emosi di jalanan, yaitu:
Terlibat dalam pemikiran yang bermusuhan dan agresif. Pengemudi dengan tingkat kemarahan yang tinggi biasanya mudah menghakimi dan tidak percaya pada pengemudi lain. Misalnya, mereka lebih cenderung menghina pengemudi lain atau menyatakan ketidakpercayaan terhadap cara orang lain mengemudi. Mereka juga lebih “pendendam” dan berpotensi membalas perlakuan tidak menyenangkan pengemudi lain.
Mengambil lebih banyak risiko di jalan. Pengemudi dengan tingkat kemarahan yang tinggi umumnya lebih terbiasa melakukan perilaku yang berisiko. Mereka lebih sering mengebut melebihi batas kecepatan, atau cepat berpindah jalur, atau segera menekan gas lebih dalam menjelang lampu merah di persimpangan jalan.
Lebih cepat marah dan berperilaku lebih agresif. Pengemudi dengan tingkat kemarahan yang tinggi paling sering melakukan hal-hal seperti ini: mengumpat atau menghina, mengemudi sambil marah, membentak pengemudi lain atau membunyikan klakson karena marah.
Lebih sering mengalami insiden atau kecelakaan. Pengemudi dengan tingkat kemarahan yang tinggi berpotensi lebih sering mengalami insiden/kecelakaan daripada yang lebih mampu meredam emosinya, baik itu kecelakaan dengan kendaraan lain maupun kecelakaan tunggal. Mereka juga lebih sering “nyaris celaka” dan menerima lebih banyak surat tilang dari polisi.
Lebih sering merasakan kemarahan, kecemasan, dan impulsif. Pengemudi dengan tingkat kemarahan yang tinggi lebih mungkin untuk masuk ke dalam mobil dalam keadaan marah, yang mungkin disebabkan oleh stres di tempat kerja atau di rumah. Mereka umumnya cenderung mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang kentara, dan kurang terkendali serta bereaksi secara impulsif.
Meski demikian, pengemudi yang suka marah saat berkendara tidaklah selalu berperilaku demikian. Dikatakan Profesor Deffenbaccher, kemarahan tersebut lebih disebabkan oleh berbagai pemicu atau kejadian di luar, yang memunculkan rasa frustrasi atau juga memprovokasi si pengemudi.
Dengan kata lain, rasa marah dan ekspresi kemarahan di jalan raya tetap bisa diiturunkan, dikurangi, atau diredam dengan intervensi tertentu.
Membuat pikiran lebih rileks adalah sebuah cara yang sangat penting untuk menghindari munculnya rasa marah karena terprovokasi keadaan di luar. Rileksasi bisa diciptakan dengan mengatur napas untuk menurunkan tensi, atau menyalakan musik yang menenangkan dari radio. Dan tentu saja, yang terpenting adalah mengembalikan kesadaran dan pikiran bahwa keselamatan di jalanan adalah yang paling utama.
===
(Ilustrasi: Freepik)
Baca juga: