Tag Archive for: Mengelola Stres

Mengelola Obrolan Politik Pemilu Agar Tidak Mengganggu Hubungan

Perbedaan sikap politik berpotensi mengganggu sebuah hubungan sosial. Dari yang semula berteman dekat menjadi renggang, atau seseorang memutuskan keluar dari sebuah grup whatsapp gara-gara berbeda pilihan.

Merujuk pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Juni 2023, publik cukup mengkhawatirkan potensi polarisasi (keterbelahan) menjelang dan saat Pemilu 2024. Ada pengalaman traumatis ketika polarisasi itu sangat kentara terjadi pada pemilu 2019.

Memperbincangkan apalagi memperdebatkan topik-topik yang “sensitif” seperti politik menjelang pemilu, berpeluang memunculkan ketegangan dalam sebuah hubungan, baik dengan teman, rekan kerja, keluarga, pasangan, sampai lingkungan tempat tinggal. Alih-alih menerima perbedaan, yang malahan terjadi justru perbedaan pandangan politik tersebut menyebabkan retaknya hubungan yang telah terjalin.

Berikut ini beberapa tips yang bisa dipertimbangkan dalam mengelola obrolan politik pemilu, baik secara langsung maupun obrolan melalui media sosial (medsos), agar percakapan tidak menjadi kontraproduktif.

Tidak mengeraskan perbedaan, bahas pula kesamaan. Kita boleh tidak setuju dengan sikap politik seseorang, tetapi, alih-alih bereaksi keras, dengarkanlah orang lain secara aktif tentang apa yang penting baginya. Misalnya, Anda punya gagasan yang berbeda dengan orang lain tentang kebijakan ekonomi salah satu kandidat, tapi pada dasarnya Anda memiliki kepedulian yang sama untuk memastikan bahwa ekonomi rakyat harus dinomorsatukan. Nah, dengan mendiskusikan sudut pandang yang sama, area perselisihan akan berkurang intensitasnya dan stres bisa berkurang.

Bersikap terbuka dan menjaga kesantunan. Saat melakukan percakapan, hindari polarisasi bahasa dan serangan pribadi. Berkomunikasilah secara efektif, dan selalu memperhatikan siapa lawan bicara Anda. Hindari membicarakan topik sensitif di pagi hari atau sebelum acara penting, supaya tidak merusak “mood” Anda maupun lawan bicara Anda. Cobalah untuk memperhatikan kata-kata dan memelihara nada bicara, dan jangan biarkan percakapan menjadi bermusuhan atau agresif, karena hal itu berpotensi berdampak negatif pada hubungan di masa depan.

Tetap tenang saat ketegangan meningkat. Adalah penting untuk mempersiapkan kemungkinan Anda akan berbeda pandangan politik dengan lawan bicara Anda. Dengan begitu Anda menjadi lebih siap untuk meredakan ketegangan jika hal itu terjadi. Saat obrolan memanas dan Anda merasa terlalu reaktif atau emosional, ada baiknya Anda menahan diri dan mengingatkan diri sendiri untuk tetap tenang. Cobalah menarik napas dalam-dalam saat Anda sedang kesal, atau dengan sopan mengganti topik pembicaraan. Ingatlah, hanya Anda yang bisa mengendalikan emosi Anda. Dan jika Anda menyadarinya, hal itu akan membantu Anda dalam mengurangi ketegangan dengan orang lain.

Menentukan tujuan percakapan. Jika Anda bermaksud mengubah pandangan atau jalan pikiran orang lain, tentu hal tersebut tidak selalu mudah untuk dilakukan, karena itu bergantung pula dengan lawan bicara Anda. Munculnya perdebatan adalah konsekuensi. Namun, jika Anda berbincang-bincang untuk sekadar mendengar, mengetahui, dan memahami sudut pandang lawan bicara Anda, boleh jadi ketegangan yang bisa muncul akan lebih mudah diredakan.

Terimalah bahwa Anda tidak boleh mengubah pikiran orang lain. Saat bercakap-cakap, Anda mungkin bisa memperhatikan bahwa orang lain mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda. Melakukan percakapan, khususnya mengenai topik sensitif, tidak selalu mudah. Sadarilah bahwa Anda mungkin tidak dapat mengubah sudut pandang mereka. Maka dari itu, gunakanlah percakapan sebagai kesempatan untuk berbagi pandangan, bukan untuk meyakinkan siapa pun bahwa pandangan (politik) Anda adalah yang terbaik.

Berbeda dengan orang terdekat bukanlah masalah. Kita mungkin berpikir akan selalu memiliki pendapat atau pandangan politik yang sama dengan orang-orang yang sangat dekat dengan kita, termasuk pasangan. Namun hal itu tidaklah selalu terjadi. Jika suami/istri atau sahabat Anda memiliki kandidat capres yang berbeda dengan Anda, Anda harus menerima perbedaan itu karena setiap orang berhak atas sudut pandangnya masing-masing. Menerima perbedaan tersebut akan sangat membantu dalam merawat hubungan yang sudah terjalin dengan baik.

Ketahui kapan harus mengakhiri perdebatan. Jika terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai, sebaiknya Anda mencari momen yang pas untuk  mengakhiri obrolan dengan “damai”. Caranya bisa dengan mengubah topik pembicaraan atau mengusulkan melakukan aktivitas lain, namun tetap menjaga hubungan. Walaupun Anda berseberangan politik dengan yang lain, tetaplah berpartisipasi dalam kegiatan bersama yang sering dilakukan, misalnya tetap mengikuti pertemuan rutin warga atau kerja bakti di lingkungan perumahan dan lain-lain.

Sesuaikan waktu dan acara. Perbedaan sikap politik seringkali menjadi isu yang sensitif untuk dibahas dengan orang lain. Hindarilah membahas isu tersebut di waktu atau pada acara yang tidak tepat. Misalkan Anda sedang berada di tengah acara yang santai, rileks, penuh canda tawa dan keakraban, sebaiknya tidak memancing atau terpancing untuk membicarakan isu-isu yang sensitif, kalau pada akhirnya bisa merusak suasana.

===

(Ilutrasi foto: Freepik)

 

 

Baca juga:

Burnout dalam Dunia Kerja, Apa dan Bagaimana Menyiasatinya

Menjadi Pimpinan yang Memotivasi

Seimbangkan Pekerjaan dan Kehidupan Sosial

 

Menjaga Kesehatan Mental dengan Tidur Teratur

Tidur menjadi salah satu pelepas rasa lelah. Saat tidur, aktivitas otak secara keseluruhan melambat tetapi ada semburan energi yang cepat.

Saat tidur dengan aktivitas otak meningkat cepat, seseorang akan merasakan mimpi yang lebih intens.

Tidur yang cukup memberi dampak bagi informasi emosional dari otak. Selama tidur, otak bekerja untuk mengevaluasi setiap ingatan dan pikiran.

Kurang tidur sangat berbahaya bagi kondisi emosional yang mempengaruhi suasana hati dan reaktivitas emosional.

Meski penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi beragam hubungan antara tidur dengan kesehatan mental, bukti menunjukkan adanya hubungan yang dipengaruhi banyak faktor.

Apa dampak psikologis dari kurang tidur?

Kurang tidur atau kualitas tidur yang buruk dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Sementara insomnia dapat menjadi gejala gangguan kejiwaan.

Menurut Columbia University Irving Center, masalah tidur dapat berkontribusi pada munculnya berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan.

Studi menunjukkan bahwa sehat dapat mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan kesusahan karena kurang tidur.

Mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental bahkan lebih mungkin mengalami masalah tidur kronis dan cenderung memperburuk masalah psikologis.

Kabar baiknya, ada cara meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya.

Menerapkan kebiasaan tidur yang sehat dapat membantu meningkatkan kualitas tidur.

Namun, penderita insomnia kronis harus mencari bantuan profesional, termasuk terapi perilaku kognitif.

Terapi ini mengajari pasien mengenai tidur. Tujuannya mengubah perilaku tidur dan strategi seperti kontrol stimulus, pembatasan tidur, teknik relaksasi dan terapi kognitif.

Jika masalah tidur terus berlanjut atau sering mengantuk di siang hari meski sudah tidur cukup, sudah waktunya menemui spesialis.

Langkah ini dapat membantu menentukan terapi perilaku kognitif, pengobatan, atau perawatan lain.

***

 

Ilustrasi – Freepik

 

Mengelola Stres dengan Mengatur Napas dan Meditasi

Stres menjadi bagian dari kehidupan manusia yang bisa menjadi halangan dalam menjalani kehidupan.

Mengontrol stres bisa dengan cara meresponnya. Artinya stres tidak dapat dihindari, namun pikiran dan tubuh bisa menjadi peredanya.

Dalam psikologi kesehatan, ada beberapa strategi mengelola stres. Dengan begitu, saat mengalami stres dapat fokus pada cara mengatasi dan mengantisipasinya.

Bernapas merupakan salah satu cara dalam merespon stres. Teknis pernapasan dalam dan meditasi bisa dilakukan di mana dan kapan saja.

Dalam penelitian berjudul The Physiological Effects of Slow Breathing in the Healthy Human yang diterbitkan di Jurnal Breathe, fokus dan menata alur napas dapat membuat perbedaan pada tingkat stres.

Teknik pernapasan dapat menenangkan tubuh dan otak manusia hanya dalam beberapa menit. Ini berguna saat menghadiri rapat yang menegangkan atau wawancara kerja.

Latihan teknik pernapasan bisa dimulai dengan satu tarikan napas panjang melalui hidung hingga perut terisi udara.

Hitung perlahan sampai tiga saat menarik napas. Tahan napas selama satu detik, lalu embuskan perlahan melalui hidung sambil menghitung sampai tiga lagi.

Setelah itu, tarik napas melalui hidung dan bayangkan sedang menghirup udara segar dalam suasana damai. Bayangkan udara menyebar ke seluruh tubuh.

Saat mengembuskan napas, bayangkan sedang menghembuskan stres dan ketegangan yang sedang dirasakan.

Menurut laman Layanan Kesehatan Nasional Inggris Raya, manfaat maksimal akan didapatkan jika teknik pernapasan dilakukan secara teratur, sebagai bagian dari rutinitas harian.

Ini bisa melakukan sambil berdiri, duduk di kursi yang menopang punggung atau berbaring di tempat tidur atau matras yoga di lantai.

Jika berbaring, letakkan tangan agak jauh dari samping, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Biarkan kaki lurus, atau tekuk lutut sehingga kaki rata di lantai.

Jika sedang duduk, letakkan tangan di lengan kursi. Jika sedang duduk atau berdiri, tempatkan kedua kaki rata di tanah. Apa pun posisinya, letakkan kaki kira-kira selebar pinggul.

Sementara itu, teknik jangka panjang yang dapat dipelajari adalah meditasi baik dibantu instruktur terlatih atau berlatih secara mandiri di rumah dengan panduan dari aplikasi.

Ada banyak model meditasi untuk menurunkan stres, salah satunya yoga. Meditasi juga bisa dilakukan sambil berjalan. Menggabungkan jalan-jalan dengan meditasi adalah cara efisien dan sehat untuk bersantai. Teknik ini dapat dilakukan di mana pun, seperti di hutan, trotoar kota atau mal sekali pun.

Saat menerapkan cara ini, perlambat kecepatan berjalan, sehingga bisa fokus pada setiap gerakan tungkai atau kaki.

Konsentrasi pada tungkai dan kaki, ulangi kata-kata tindakan dalam pikiran seperti “mengangkat”, “bergerak”, dan “menempatkan” kaki di tanah.

Meditasi juga bisa berupa aktivitas beribadah. Berdoa merupakan contoh meditasi paling banyak dipraktikkan. Doa yang diucapkan atau ditulis ditemukan di sebagian besar tradisi iman.***

 

Ilustrasi – Pixabay

 

Mau Self-Healing, Kok Malah Jadi Tambah Pusing

Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar atau membaca status seseorang di media sosialnya, istilah “self-healing”. Jika mem-posting-nya di media sosial, biasanya istilah itu disematkan pada gambar atau video pemandangan alam yang indah, spot wisata yang menawan, atau tempat-tempat yang “sepi namun bikin adem”.

Jika self-healing di atas dimaksudkan sebagai aktivitas mencari hiburan dengan berjalan-jalan, atau rekreasi, atau pergi ke tempat-tempat dengan suasana berbeda, sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, dalam dunia psikologi istilah “self-healing” bukanlah hal sesederhana itu.

Self-healing adalah sebuah proses penyembuhan kondisi mental atau kejiwaan seseorang, yang diupayakan oleh dirinya sendiri. Dia memiliki keyakinan bahwa dirinya sendirilah yang bisa menyembuhkan, bukan orang lain.

Dari pengertian di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, self-healing dilakukan seseorang karena ia sadar dirinya sedang ada masalah. Masalahnya itu bisa bersifat (penyakit) fisik, bisa pula mental atau psikologis seperti perasaan cemas, trauma, stres karena pekerjaan, dan sebagainya.

Kedua, setelah menyadari sedang bermasalah, ia juga meyakini bahwa faktor terbesar yang dapat menyembuhkan atau mengatasi masalah tersebut adalah diri sendiri. Ketika ada teman kita yang mengeluhkan sulitnya  berhenti merokok, mungkin kita akan menasehatinya seperti ini: “kamu akan bisa benar-benar berhenti merokok kalau ada niat dari dalam diri sendiri, dan upaya keras untuk mewujudkan niat itu.”

Self-healing memerlukan proses yang harus dijalani dengan terstruktur. Untuk bisa “menyembuhkan dirinya sendiri” seseorang secara sadar harus menentukan tujuan dari setiap usaha yang dilakukannya.

Misal, seseorang memutuskan pergi ke kawasan Puncak dengan maksud melepaskan kepenatan setelah bekerja keras menyelesaikan sebuah project. Ia memilih Puncak karena di sana ia bisa menjauh dari suasana bising, dapat menikmati aroma pepohonan, menenangkan pikiran dengan menaiki perbukitan. Dia tahu, sepulangnya dari Puncak, otaknya akan kembali segar dan siap kembali beraktivitas. Maka di situlah ia sudah berhasil melakukan self-healing-nya.

Namun, jika seseorang pergi ke Puncak tanpa tujuan tertentu, pokoknya bisa cari makan dan kongkong-kongkow bersama teman-temannya, itu bukanlah “self-healing”, melainkan “sekadar  mencari hiburan”.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah proses self healing adalah perencanaan yang tepat. Jika kita sudah tahu bahwa Puncak pada saat long weekend biasanya macet parah di mana-mana, lalu kenapa harus mengambil risiko terjebak di dalamnya? Alih-alih mau self-healing, yang didapat malah kemacetan berjam-jam yang bikin kepala pusing dan pikiran tambah sinting. ***

 

Ilustrasi Foto: ANTARA