Mau Self-Healing, Kok Malah Jadi Tambah Pusing
Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar atau membaca status seseorang di media sosialnya, istilah “self-healing”. Jika mem-posting-nya di media sosial, biasanya istilah itu disematkan pada gambar atau video pemandangan alam yang indah, spot wisata yang menawan, atau tempat-tempat yang “sepi namun bikin adem”.
Jika self-healing di atas dimaksudkan sebagai aktivitas mencari hiburan dengan berjalan-jalan, atau rekreasi, atau pergi ke tempat-tempat dengan suasana berbeda, sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, dalam dunia psikologi istilah “self-healing” bukanlah hal sesederhana itu.
Self-healing adalah sebuah proses penyembuhan kondisi mental atau kejiwaan seseorang, yang diupayakan oleh dirinya sendiri. Dia memiliki keyakinan bahwa dirinya sendirilah yang bisa menyembuhkan, bukan orang lain.
Dari pengertian di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, self-healing dilakukan seseorang karena ia sadar dirinya sedang ada masalah. Masalahnya itu bisa bersifat (penyakit) fisik, bisa pula mental atau psikologis seperti perasaan cemas, trauma, stres karena pekerjaan, dan sebagainya.
Kedua, setelah menyadari sedang bermasalah, ia juga meyakini bahwa faktor terbesar yang dapat menyembuhkan atau mengatasi masalah tersebut adalah diri sendiri. Ketika ada teman kita yang mengeluhkan sulitnya berhenti merokok, mungkin kita akan menasehatinya seperti ini: “kamu akan bisa benar-benar berhenti merokok kalau ada niat dari dalam diri sendiri, dan upaya keras untuk mewujudkan niat itu.”
Self-healing memerlukan proses yang harus dijalani dengan terstruktur. Untuk bisa “menyembuhkan dirinya sendiri” seseorang secara sadar harus menentukan tujuan dari setiap usaha yang dilakukannya.
Misal, seseorang memutuskan pergi ke kawasan Puncak dengan maksud melepaskan kepenatan setelah bekerja keras menyelesaikan sebuah project. Ia memilih Puncak karena di sana ia bisa menjauh dari suasana bising, dapat menikmati aroma pepohonan, menenangkan pikiran dengan menaiki perbukitan. Dia tahu, sepulangnya dari Puncak, otaknya akan kembali segar dan siap kembali beraktivitas. Maka di situlah ia sudah berhasil melakukan self-healing-nya.
Namun, jika seseorang pergi ke Puncak tanpa tujuan tertentu, pokoknya bisa cari makan dan kongkong-kongkow bersama teman-temannya, itu bukanlah “self-healing”, melainkan “sekadar mencari hiburan”.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah proses self healing adalah perencanaan yang tepat. Jika kita sudah tahu bahwa Puncak pada saat long weekend biasanya macet parah di mana-mana, lalu kenapa harus mengambil risiko terjebak di dalamnya? Alih-alih mau self-healing, yang didapat malah kemacetan berjam-jam yang bikin kepala pusing dan pikiran tambah sinting. ***
Ilustrasi Foto: ANTARA