Tag Archive for: Stres

Mengelola Obrolan Politik Pemilu Agar Tidak Mengganggu Hubungan

Perbedaan sikap politik berpotensi mengganggu sebuah hubungan sosial. Dari yang semula berteman dekat menjadi renggang, atau seseorang memutuskan keluar dari sebuah grup whatsapp gara-gara berbeda pilihan.

Merujuk pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Juni 2023, publik cukup mengkhawatirkan potensi polarisasi (keterbelahan) menjelang dan saat Pemilu 2024. Ada pengalaman traumatis ketika polarisasi itu sangat kentara terjadi pada pemilu 2019.

Memperbincangkan apalagi memperdebatkan topik-topik yang “sensitif” seperti politik menjelang pemilu, berpeluang memunculkan ketegangan dalam sebuah hubungan, baik dengan teman, rekan kerja, keluarga, pasangan, sampai lingkungan tempat tinggal. Alih-alih menerima perbedaan, yang malahan terjadi justru perbedaan pandangan politik tersebut menyebabkan retaknya hubungan yang telah terjalin.

Berikut ini beberapa tips yang bisa dipertimbangkan dalam mengelola obrolan politik pemilu, baik secara langsung maupun obrolan melalui media sosial (medsos), agar percakapan tidak menjadi kontraproduktif.

Tidak mengeraskan perbedaan, bahas pula kesamaan. Kita boleh tidak setuju dengan sikap politik seseorang, tetapi, alih-alih bereaksi keras, dengarkanlah orang lain secara aktif tentang apa yang penting baginya. Misalnya, Anda punya gagasan yang berbeda dengan orang lain tentang kebijakan ekonomi salah satu kandidat, tapi pada dasarnya Anda memiliki kepedulian yang sama untuk memastikan bahwa ekonomi rakyat harus dinomorsatukan. Nah, dengan mendiskusikan sudut pandang yang sama, area perselisihan akan berkurang intensitasnya dan stres bisa berkurang.

Bersikap terbuka dan menjaga kesantunan. Saat melakukan percakapan, hindari polarisasi bahasa dan serangan pribadi. Berkomunikasilah secara efektif, dan selalu memperhatikan siapa lawan bicara Anda. Hindari membicarakan topik sensitif di pagi hari atau sebelum acara penting, supaya tidak merusak “mood” Anda maupun lawan bicara Anda. Cobalah untuk memperhatikan kata-kata dan memelihara nada bicara, dan jangan biarkan percakapan menjadi bermusuhan atau agresif, karena hal itu berpotensi berdampak negatif pada hubungan di masa depan.

Tetap tenang saat ketegangan meningkat. Adalah penting untuk mempersiapkan kemungkinan Anda akan berbeda pandangan politik dengan lawan bicara Anda. Dengan begitu Anda menjadi lebih siap untuk meredakan ketegangan jika hal itu terjadi. Saat obrolan memanas dan Anda merasa terlalu reaktif atau emosional, ada baiknya Anda menahan diri dan mengingatkan diri sendiri untuk tetap tenang. Cobalah menarik napas dalam-dalam saat Anda sedang kesal, atau dengan sopan mengganti topik pembicaraan. Ingatlah, hanya Anda yang bisa mengendalikan emosi Anda. Dan jika Anda menyadarinya, hal itu akan membantu Anda dalam mengurangi ketegangan dengan orang lain.

Menentukan tujuan percakapan. Jika Anda bermaksud mengubah pandangan atau jalan pikiran orang lain, tentu hal tersebut tidak selalu mudah untuk dilakukan, karena itu bergantung pula dengan lawan bicara Anda. Munculnya perdebatan adalah konsekuensi. Namun, jika Anda berbincang-bincang untuk sekadar mendengar, mengetahui, dan memahami sudut pandang lawan bicara Anda, boleh jadi ketegangan yang bisa muncul akan lebih mudah diredakan.

Terimalah bahwa Anda tidak boleh mengubah pikiran orang lain. Saat bercakap-cakap, Anda mungkin bisa memperhatikan bahwa orang lain mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda. Melakukan percakapan, khususnya mengenai topik sensitif, tidak selalu mudah. Sadarilah bahwa Anda mungkin tidak dapat mengubah sudut pandang mereka. Maka dari itu, gunakanlah percakapan sebagai kesempatan untuk berbagi pandangan, bukan untuk meyakinkan siapa pun bahwa pandangan (politik) Anda adalah yang terbaik.

Berbeda dengan orang terdekat bukanlah masalah. Kita mungkin berpikir akan selalu memiliki pendapat atau pandangan politik yang sama dengan orang-orang yang sangat dekat dengan kita, termasuk pasangan. Namun hal itu tidaklah selalu terjadi. Jika suami/istri atau sahabat Anda memiliki kandidat capres yang berbeda dengan Anda, Anda harus menerima perbedaan itu karena setiap orang berhak atas sudut pandangnya masing-masing. Menerima perbedaan tersebut akan sangat membantu dalam merawat hubungan yang sudah terjalin dengan baik.

Ketahui kapan harus mengakhiri perdebatan. Jika terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai, sebaiknya Anda mencari momen yang pas untuk  mengakhiri obrolan dengan “damai”. Caranya bisa dengan mengubah topik pembicaraan atau mengusulkan melakukan aktivitas lain, namun tetap menjaga hubungan. Walaupun Anda berseberangan politik dengan yang lain, tetaplah berpartisipasi dalam kegiatan bersama yang sering dilakukan, misalnya tetap mengikuti pertemuan rutin warga atau kerja bakti di lingkungan perumahan dan lain-lain.

Sesuaikan waktu dan acara. Perbedaan sikap politik seringkali menjadi isu yang sensitif untuk dibahas dengan orang lain. Hindarilah membahas isu tersebut di waktu atau pada acara yang tidak tepat. Misalkan Anda sedang berada di tengah acara yang santai, rileks, penuh canda tawa dan keakraban, sebaiknya tidak memancing atau terpancing untuk membicarakan isu-isu yang sensitif, kalau pada akhirnya bisa merusak suasana.

===

(Ilutrasi foto: Freepik)

 

 

Baca juga:

Burnout dalam Dunia Kerja, Apa dan Bagaimana Menyiasatinya

Menjadi Pimpinan yang Memotivasi

Seimbangkan Pekerjaan dan Kehidupan Sosial

 

Antidepresi dengan Konsumsi Buah dan Sayur

Pola makan yang sehat adalah usaha seseorang dalam mengatur jumlah dan jenis makanan untuk mempertahankan kesehatan tubuhnya, menyeimbangkan asupan gizi yang dibutuhkan tubuh, mencegah terserangnya penyakit, serta membantu kesembuhan penyakit. Pola makan dapat mempengaruhi keadaan gizi seseorang, sehingga pola makan yang baik harus berpedoman pada Gizi Seimbang.

Pada tahun 2013, di Jawa Barat didapatkan 96,4% penduduk usia di atas 10 tahun kurang mengonsumsi buah dan sayur serta mengalami peningkatan menjadi 98,2% pada tahun 2018. Sebuah penelitian yang dilakukan di Bogor pada tahun 2018 mendapatkan hasil bahwa sebanyak 13 dari 15 orang tua mengaku bahwa anak mereka sulit mengonsumsi buah dan sayur, serta penelitian yang dilakukan di Kuantan Hilir pada tahun 2015 mendapatkan hasil bahwa sebesar 28,42% responden kurang mengonsumsi buah dan sayur.

Untuk mewujudkan gizi yang seimbang, konsumsi buah dan sayur perlu diperhatikan. Buah dan sayur tidak dapat dipisahkan karena keduanya mengandung zat gizi mikro seperti vitamin, mineral, dan serat yang berperan dalam peningkatan metabolisme dan menjaga kekebalan tubuh.

Pentingnya Makan Sayur dan Buah

Dari banyak riset disebutkan bahwa berkembangnya makanan cepat saji menjadi salah satu faktor konsumsi buah dan sayur di kalangan masyarakat Indonesia masih rendah. Remaja menjadi salah satu kelompok yang paling kurang dalam mengonsumsi buah dan sayur. Dalam hal ini, perlu dilakukan edukasi terkait pentingnya makan buah dan sayur untuk kesehatan tubuh. Sebab, kandungan dalam buah-buahan dan sayuran sangat dibutuhkan oleh tubuh. Serat, misalnya, akan membantu memperlambat penyerapan gula sehingga kadar gula di dalam tubuh tidak berlebihan dan stabil sehingga dapat mencegah penyakit diabetes melitus dan penyakit pembuluh darah lainnya.

Kekurangan sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan gangguan pada pencernaan yaitu buang air besar menjadi tidak lancar. Diperkirakan kematian akibat saluran cerna sebesar 14 persen, kematian akibat penyakit jantung koroner sebesar 11 persen, dan kematian akibat stroke sembilan persen. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengonsumsi buah dan sayur sesuai anjuran yang telah ditetapkan oleh WHO agar kita dapat mencegah dan mengurangi penyakit akibat kurang mengonsumsi buah dan sayur.

Konsumsi Per hari

Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi sayuran dan buah-buahan sebanyak 400 gram per hari pada setiap individu, yang terdiri dari 250 gram sayur (setara dengan 2 porsi atau 2 gelas sayur setelah dimasak atau ditiriskan) dan 150 gram buah (setara dengan 3 buah pisang ambon, 1 potong pepaya atau 3 buah jeruk ukuran sedang).

Balita dan anak usia sekolah dianjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 300-400 gram per hari, sedangkan bagi remaja dan orang dewasa 400-600 gram per hari. Sekitar dua-pertiga dari jumlah anjuran konsumsi tersebut adalah porsi sayur.

Dampak kurang makan buah dan sayur

Kekurangan konsumsi sayur dan buah dapat menimbulkan berbagai penyakit di kemudian hari. Rendahnya konsumsi sayur dan buah ini berkaitan dengan meningkatnya risiko terjadinya penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung dan diabetes. Kekurangan sayur juga dapat memberikan dampak buruk pada mata, juga dapat menyebabkan anemia dengan gejala seperti lemah, letih, lesu, kurang konsentrasi dan malas pada anak.

Selain itu, kekurangan konsumsi sayur dan buah juga dapat memunculkan risiko obesitas atau overweight. Hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang memiliki frekuensi konsumsi buah yang kurang, berisiko mengalami kondisi overweight sebesar empat kali lebih banyak dibandingkan dengan yang sering mengonsumsi buah. Sedangkan orang yang jarang mengonsumsi sayur berpotensi mengalami overweight satu kali lebih besar daripada yang lebih rajin makan satur-sayuran.

Manfaat mengonsumsi buah dan sayur

1. Meningkatkan performa otak. Buah dan sayur memiliki kandungan zat antioksidan, yang dapat memperlambat atau mencegah proses oksidasi molekul lain. Dengan kata lain, kandungan yang terdapat di dalam buah dan sayur dapat memerangi radikal bebas sehingga mampu memproteksi dari kerusakan sel-sel otak.

2. Mengurangi risiko penyakit kanker. Kanker merupakan jenis penyakit kronis akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Buah dan sayur khususnya buah yang berwarna merah dan ungu, seperti tomat dan strawberry yang mengandung banyak lycopene dan anthocyanins, mampu mencegah perkembangan sel kanker.

3. Menjaga kenormalan tekanan darah, kadar gula dan kolesterol darah. Konsumsi sayuran dan buah-buahan yang cukup turut berperan dalam menjaga kenormalan tekanan darah, kadar gula dan kolesterol darah. Konsumsi sayur dan buah yang cukup juga menurunkan risiko sulit buang air besar (BAB/sembelit) dan kegemukan. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi sayuran dan buah-buahan yang cukup turut berperan dalam pencegahan penyakit tidak menular kronik.

4. Membuat perasaan lebih bahagia. Aktioksidan dalam buah-buahan dan sayuran terbukti mengurangi peradangan yang terjadi pada tubuh dan mampu melindungi seseorang dari depresi (antidepresan).

5. Membantu mengatasi obesitas. Tingginya kandungan serat dalam buah buahan dan sayuran memberikan rasa kenyang yang lebih lama bahkan dapat mengurangi porsi makan yang berlebih.

6. Meningkatkan daya ingat. Zat antoksidan yang terkandung dalam buah buhan dan sayuran dapat melindungi sel sel otak dan membantu meningkatkan daya ingat.

7. Membuat tubuh lebih bugar. Buah buahan dan sayuran memiliki kandungan vitamin dan mineral yang tinggi. Vitamin bersama dengan enzim bereaksi memproduksi energi; sehingga membuat tubuh menjadi lebih bugar.

8. Melancarkan buang air besar. Buah-buahan dan sayuran mengandung serat yang tinggi yang dapat meningkatkan kelancaran metabolisme tubuh, serta melancarkan buang air besar. Lancarnya buang air besar menghindari penyerapan kembali sisa metabolisme oleh usus.

Jadi, yuk, mulai lebih membiasakan diri dan keluarga untuk senantiasa mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran.

***

(Ilustrasi: Freepik)

 

 

 

Burnout dalam Dunia Kerja: Apa dan Bagaimana Menyiasatinya

Anda mungkin pernah mengalami keadaan seperti ini di kantor atau tempat Anda bekerja. Pada suatu titik Anda merasa pekerjaan Anda begitu menumpuk, seakan-akan tidak ada habisnya, ditambah lagi dengan atasan yang terus menagih deadline, dan tahu-tahu Anda begitu lelah bahkan sampai stres menghadap itu semua. Pada saat itulah Anda mungkin sedang mengalami burnout.

Pengertian burnout

Burnout adalah sindrom psikologis yang muncul akibat stres interpersonal yang dirasakan seseorang dalam waktu yang cukup lama (chronic stress). Burnout biasanya dikaitkan sebagai ‘efek samping’ dari pekerjaan yang berorientasi pada pelayanan manusia. Selain itu, pekerjaan-pekerjaan yang mengesampingkan kebutuhan pribadi guna mencapai berbagai tujuan tertentu  juga dapat berpotensi menciptakan kondisi burnout dalam pekerja.

Burnout biasanya akan terlihat dan terasa pada keseharian individu yang sedang mengalaminya. Tanda-tanda seseorang mengalami burnout antara lain sebagai berikut:

– Terus merasa lelah dan kehilangan semangat saat bekerja atau melakukan kegiatan yang menjadi pencetus perasaan tersebut.

– Mudah frustasi saat mengerjakan atau melakukan kegiatan tertentu.

– Mengalami kemunduran kinerja.

– Lebih mudah tersinggung dan marah.

– Cenderung menarik diri dari linglungan sosial.

Penyebab burnout

Burnout tidak hanya disebabkan oleh durasi jam kerja yang terlalu lama ataupun tugas dan deadline yang menumpuk. Faktanya, banyak hal yang turut berkontribusi pada diri seseorang hingga ia akhirnya mengalami kondisi tersebut. Berdasarkan penelitian Departemen Psikologi Universitas California, Amerika Serikat, kondisi burnout setidaknya sangat berkaitan denagan beberapa hal berikut:

1. Beban kerja

Beban kerja yang berlebih akan menyebabkan seseorang merasa terbebani dan kelelahan mental, yang akan membuat mereka lebih rentan terkena stres dan burnout.

2. Kontrol diri

Kontrol diri yang baik erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengelola emosi, mengelola ekspektasi diri sendiri, dan mengelola energi pada pekerjaan-pekerjaan serta sumber daya yang mereka miliki berdasarkan tujuan yang ditetapkan. Ketika seseorang memiliki kontrol diri yang baik, mereka akan cenderung merasakan kepuasan kerja dan terhindar dari stres serta burnout.

3. Reward atau Penghargaan

Penghargaan dan apresiasi baik yang berasal dari diri sendiri maupun orang lain dapat mempengaruhi kepuasan seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukan. Apresiasi baik dengan penghargaan maupun imbalan (contoh: insentif) berbanding terbalik dengan kerentanan seseorang terhadap ketidapuasan dan burnout pekerjaan.

4. Komunitas

Komunitas kerja yang ‘sehat’ akan memberi dampak pada kesejahteraan emosi dan mental pekerja. Bayangkan jika Anda berada di lokasi kerja di mana antarpekerja kerap berkonflik satu sama lain, saling tidak percaya, dan saling ‘sikut’. Berada di lingkungan kerja yang tidak sehat tentunya akan menimbulkan beban dan stres tersendiri di samping beban pekerjaan itu sendiri. Tumpukan beban ini akan menjadikan pekerja lebih rentan mengalami burnout.

Tahapan terjadinya burnout

Kondisi burnout tidak terjadi secara tiba-tiba dan langsung. Seseorang yang mengalami kelelahan dan beban kerja yang berat pun tidak akan serta merta merasakan burnout. Karena merupakan dampak dari stres kronik, burnout terjadi setelah beberapa fase beban dan kelelahan yang dirasakan seseorang.

Secara umum burnout dapat terjadi melalui tahapan yang dimulai dengan kelelahan dan kewalahan yang dirasakan seseorang. Ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan sumber daya yang ada menjadikan pekerja terpaksa harus menekan diri mereka hingga tercapai kebutuhan tuntutan tersebut. Akibatnya, bukan hanya kelelahan fisik yang dirasakan, namun juga akan berdampak pada kelelahan mental dan emosional.

Tahapan selanjutnya setelah seseorang merasakan kelelahan emosional dan mental adalah mekanisme defensif yang dilakukan sebagai bentuk pertahanan dari stres yang dirasakan. Pada tahap ini individu akan merasakan bahwa mereka tidak cukup cakap dan kompeten dalam menjalankan beban tugas yang dibebankan, yang kemudian mengantarkan mereka pada perasaan ‘tak berdaya’ dan burnout.

Bagaimana menyiasati burnout di dunia kerja?

Apakah burnout merupakan kondisi yang tak terhindarkan dalam dunia kerja? Kabar baiknya adalah tidak. Burnout dapat disiasati dan di cegah dengan langkah berikut:

1. Menerapkan skala prioritas

Salah satu hal yang perlu dilakukan untuk menghindari burnout adalah dengan menerapkan skala prioritas. Ini diperlukan untuk mengatur pekerjaan apa yang paling membutuhkan ‘fokus’ kita, dan mana yang bisa dikesampingkan untuk sementara waktu. Dengan menerapkan skala prioritas, energi dapat tersalurkan secara tepat dan efisien sehingga pekerjaan pun dapat lebih cepat terselesaikan.

2. Mengurangi ekspektasi diri sendiri

Tidak jarang ‘beban kerja’ yang dirasakan sebetulnya berasal dari ekspektasi yang tidak realistis yang kita ciptakan sendiri. Menetapkan ekspektasi memang penting untuk menunjang serta memacu kinerja agar lebih baik. Namun ekspektasi yang tidak rasional dan terlalu tinggi justru bisa membebani diri sendiri. Oleh karena itu, untuk menjaga agar mental tidak mengalami kelelahan dan burnout, penting bagi seseorang untuk tidak membebani diri dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Tetapkan tujuan (goal) yang kiranya masih mungkin untuk dicapai, tidak terlalu mudah namun juga tidak terlalu sulit untuk digapai. Jangan lupa pula untuk mengapresiasi diri sendiri atas capaian-capaian yang telah berhasil diraih.

3. Menjaga keseimbangan hidup

Untuk menjaga kesehatan mental selama bekerja, penting bagi setiap individu untuk menyeimbangkan takaran kehidupannya. Bekerja terus menerus tentunya akan membuat kita merasa kelelahan baik fisik maupun mental. Ambil jeda sejenak dari pekerjaan, misalnya dengan membuat minuman hangat yang dapat meningkatkan energi dan fokus, atau melakukan refreshing sejenak di akhir pekan. Selain itu, menyeimbangkan pola hidup dengan olahraga juga dapat membuat diri kita lebih tahan terhadap ‘beban kerja’ dan tidak mudah stres serta burnout.

4. Menceritakan keluhan yang dirasakan kepada orang yang dipercaya

Yang tidak kalah penting adalah menceritakan beban dan keluhan yang saat ini kita rasakan kepada orang yang kita percaya. Dengan menceritakan kepada orang yang Anda percaya, setidaknya Anda dapat merasakan bahwa Anda tidak sendirian melalui ‘beban’ ini. Anda akan merasa memiliki orang lain yang ‘ada’ untuk Anda. Jika Anda tidak memiliki orang yang dapat dipercaya saat ini, Anda dapat menceritakan beban dan keluhan yang dirasakan kepada tenaga profesional seperti psikolog. Sisi positifnya adalah, bukan hanya perasaan lega yang diperoleh, anda juga akan mendapat feedback yang membantu serta kerahasiaan cerita yang terjamin.

***

Ilustrasi: Vecteezy.com

 

 

Ternyata, Stres Tak Selalu Bermakna Negatif

Stres kerap muncul dalam situasi penuh tekanan. Tetapi, stres tidak selalu bermakna negatif. Pada situasi tertentu, stres bisa mendorong seorang anak berlatih lebih keras demi pertunjukan pianonya atau menginspirasi seorang siswa meraih prestasi.

Tetapi stres kronis memiliki makna berbeda. Jika dibiarkan, stres kronis dalam jangka panjang dapat menyebabkan masalah kesehatan fisik dan mental.

Stres berkepanjangan yang mengarah ke frustrasi dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, melemahkan sistem kekebalan tubuh, dan berkontribusi terhadap penyakit seperti obesitas dan penyakit jantung.

Tekanan ini juga dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, gangguan yang menjadi lebih umum di kalangan remaja.

COVID-19 menjadi titik balik. Selama masa pandemi, penyakit mental berada pada titik tertinggi, terutama di kalangan remaja.

Sebuah penelitian tahun 2022 yang diterbitkan di JAMA Pediatrics menemukan pada periode 2016-2020, jumlah anak usia 3-17 tahun yang didiagnosis dengan kecemasan tumbuh 29 persen. Sedangkan mereka yang mengalami depresi 27 persen.

Temuan ini menunjukkan adanya perubahan pada kesejahteraan anak dan keluarga saat pandemi COVID-19.

Di ujung paling ekstrem dari skala stres, hampir 270.000 anak menderita kehilangan karena COVID-19 merenggaut anggota keluarga atau pengasuh mereka.

Stres pada anak usia remaja tidak selalu terlihat seperti stres pada orang dewasa.

Sumber stres pada anak 

Untuk kanak-kanak, ketegangan di rumah dapat menjadi sumber stres. Misalnya, anak yang terjebak dalam perselisihan keluarga, perceraian, atau kehilangan.

Bahkan perubahan membahagiakan, seperti rumah baru, kedatangan saudara atau orang tua tiri baru yang disayangi bisa menjadi berat bagi seorang anak.

Sekolah juga bisa menjadi sumber stres lain pada anak. Anak kecil mungkin stres karena pertemanan, bullying, atau cemas dengan ujian dan nilai.

Sumber stres pada remaja 

Seiring bertambahnya usia anak, sumber stres juga berkembang. Remaja lebih mungkin mengalami stres dibandingkan anak kecil karena peristiwa atau situasi di luar rumah.

Teman sebaya dapat membantu menahan sekaligus menjadi sumber stres.

Hubungan sosial sangat penting pada masa remaja. Banyak remaja khawatir tentang bagaimana menyesuaikan diri atau tekanan dari teman sebaya.

Selain itu, tanda-tanda stres di masa muda dapat muncul dalam berbagai cara.

1. Mudah marah

Seorang anak tidak selalu memiliki kata-kata untuk menggambarkan perasaan mereka.

Terkadang ketegangan meluap menjadi suasana hati yang buruk. Anak-anak dan remaja yang stres menjadi lebih pemarah atau argumentatif dari biasanya.

2. Perubahan perilaku

Seorang anak kecil dulunya pendengar yang baik, tiba-tiba bertingkah. Seorang remaja dulunya aktif sekarang tidak mau keluar rumah. Perubahan tiba-tiba bisa menjadi tanda tingkat stres tinggi.

3. Mengabaikan tanggung jawab

Jika seorang remaja tiba-tiba lupa atau mulai menunda-nunda kewajiban lebih dari biasanya, stres mungkin menjadi faktor penyebabnya.

4. Pola makan

Makan terlalu banyak atau sedikit keduanya bisa menjadi reaksi terhadap stres.

5. Sering sakit

Stres sering muncul sebagai gejala fisik. Seorang anak yang mengalami stres sering mengeluhkan sakit kepala atau sakit perut.***

 

Ilustrasi – Vecteezy

Menjaga Kesehatan Mental dengan Tidur Teratur

Tidur menjadi salah satu pelepas rasa lelah. Saat tidur, aktivitas otak secara keseluruhan melambat tetapi ada semburan energi yang cepat.

Saat tidur dengan aktivitas otak meningkat cepat, seseorang akan merasakan mimpi yang lebih intens.

Tidur yang cukup memberi dampak bagi informasi emosional dari otak. Selama tidur, otak bekerja untuk mengevaluasi setiap ingatan dan pikiran.

Kurang tidur sangat berbahaya bagi kondisi emosional yang mempengaruhi suasana hati dan reaktivitas emosional.

Meski penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi beragam hubungan antara tidur dengan kesehatan mental, bukti menunjukkan adanya hubungan yang dipengaruhi banyak faktor.

Apa dampak psikologis dari kurang tidur?

Kurang tidur atau kualitas tidur yang buruk dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Sementara insomnia dapat menjadi gejala gangguan kejiwaan.

Menurut Columbia University Irving Center, masalah tidur dapat berkontribusi pada munculnya berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi dan kecemasan.

Studi menunjukkan bahwa sehat dapat mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan kesusahan karena kurang tidur.

Mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental bahkan lebih mungkin mengalami masalah tidur kronis dan cenderung memperburuk masalah psikologis.

Kabar baiknya, ada cara meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya.

Menerapkan kebiasaan tidur yang sehat dapat membantu meningkatkan kualitas tidur.

Namun, penderita insomnia kronis harus mencari bantuan profesional, termasuk terapi perilaku kognitif.

Terapi ini mengajari pasien mengenai tidur. Tujuannya mengubah perilaku tidur dan strategi seperti kontrol stimulus, pembatasan tidur, teknik relaksasi dan terapi kognitif.

Jika masalah tidur terus berlanjut atau sering mengantuk di siang hari meski sudah tidur cukup, sudah waktunya menemui spesialis.

Langkah ini dapat membantu menentukan terapi perilaku kognitif, pengobatan, atau perawatan lain.

***

 

Ilustrasi – Freepik

 

Mengelola Stres dengan Mengatur Napas dan Meditasi

Stres menjadi bagian dari kehidupan manusia yang bisa menjadi halangan dalam menjalani kehidupan.

Mengontrol stres bisa dengan cara meresponnya. Artinya stres tidak dapat dihindari, namun pikiran dan tubuh bisa menjadi peredanya.

Dalam psikologi kesehatan, ada beberapa strategi mengelola stres. Dengan begitu, saat mengalami stres dapat fokus pada cara mengatasi dan mengantisipasinya.

Bernapas merupakan salah satu cara dalam merespon stres. Teknis pernapasan dalam dan meditasi bisa dilakukan di mana dan kapan saja.

Dalam penelitian berjudul The Physiological Effects of Slow Breathing in the Healthy Human yang diterbitkan di Jurnal Breathe, fokus dan menata alur napas dapat membuat perbedaan pada tingkat stres.

Teknik pernapasan dapat menenangkan tubuh dan otak manusia hanya dalam beberapa menit. Ini berguna saat menghadiri rapat yang menegangkan atau wawancara kerja.

Latihan teknik pernapasan bisa dimulai dengan satu tarikan napas panjang melalui hidung hingga perut terisi udara.

Hitung perlahan sampai tiga saat menarik napas. Tahan napas selama satu detik, lalu embuskan perlahan melalui hidung sambil menghitung sampai tiga lagi.

Setelah itu, tarik napas melalui hidung dan bayangkan sedang menghirup udara segar dalam suasana damai. Bayangkan udara menyebar ke seluruh tubuh.

Saat mengembuskan napas, bayangkan sedang menghembuskan stres dan ketegangan yang sedang dirasakan.

Menurut laman Layanan Kesehatan Nasional Inggris Raya, manfaat maksimal akan didapatkan jika teknik pernapasan dilakukan secara teratur, sebagai bagian dari rutinitas harian.

Ini bisa melakukan sambil berdiri, duduk di kursi yang menopang punggung atau berbaring di tempat tidur atau matras yoga di lantai.

Jika berbaring, letakkan tangan agak jauh dari samping, dengan telapak tangan menghadap ke atas. Biarkan kaki lurus, atau tekuk lutut sehingga kaki rata di lantai.

Jika sedang duduk, letakkan tangan di lengan kursi. Jika sedang duduk atau berdiri, tempatkan kedua kaki rata di tanah. Apa pun posisinya, letakkan kaki kira-kira selebar pinggul.

Sementara itu, teknik jangka panjang yang dapat dipelajari adalah meditasi baik dibantu instruktur terlatih atau berlatih secara mandiri di rumah dengan panduan dari aplikasi.

Ada banyak model meditasi untuk menurunkan stres, salah satunya yoga. Meditasi juga bisa dilakukan sambil berjalan. Menggabungkan jalan-jalan dengan meditasi adalah cara efisien dan sehat untuk bersantai. Teknik ini dapat dilakukan di mana pun, seperti di hutan, trotoar kota atau mal sekali pun.

Saat menerapkan cara ini, perlambat kecepatan berjalan, sehingga bisa fokus pada setiap gerakan tungkai atau kaki.

Konsentrasi pada tungkai dan kaki, ulangi kata-kata tindakan dalam pikiran seperti “mengangkat”, “bergerak”, dan “menempatkan” kaki di tanah.

Meditasi juga bisa berupa aktivitas beribadah. Berdoa merupakan contoh meditasi paling banyak dipraktikkan. Doa yang diucapkan atau ditulis ditemukan di sebagian besar tradisi iman.***

 

Ilustrasi – Pixabay

 

Mau Self-Healing, Kok Malah Jadi Tambah Pusing

Akhir-akhir ini sering sekali kita mendengar atau membaca status seseorang di media sosialnya, istilah “self-healing”. Jika mem-posting-nya di media sosial, biasanya istilah itu disematkan pada gambar atau video pemandangan alam yang indah, spot wisata yang menawan, atau tempat-tempat yang “sepi namun bikin adem”.

Jika self-healing di atas dimaksudkan sebagai aktivitas mencari hiburan dengan berjalan-jalan, atau rekreasi, atau pergi ke tempat-tempat dengan suasana berbeda, sebenarnya boleh-boleh saja. Namun, dalam dunia psikologi istilah “self-healing” bukanlah hal sesederhana itu.

Self-healing adalah sebuah proses penyembuhan kondisi mental atau kejiwaan seseorang, yang diupayakan oleh dirinya sendiri. Dia memiliki keyakinan bahwa dirinya sendirilah yang bisa menyembuhkan, bukan orang lain.

Dari pengertian di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, self-healing dilakukan seseorang karena ia sadar dirinya sedang ada masalah. Masalahnya itu bisa bersifat (penyakit) fisik, bisa pula mental atau psikologis seperti perasaan cemas, trauma, stres karena pekerjaan, dan sebagainya.

Kedua, setelah menyadari sedang bermasalah, ia juga meyakini bahwa faktor terbesar yang dapat menyembuhkan atau mengatasi masalah tersebut adalah diri sendiri. Ketika ada teman kita yang mengeluhkan sulitnya  berhenti merokok, mungkin kita akan menasehatinya seperti ini: “kamu akan bisa benar-benar berhenti merokok kalau ada niat dari dalam diri sendiri, dan upaya keras untuk mewujudkan niat itu.”

Self-healing memerlukan proses yang harus dijalani dengan terstruktur. Untuk bisa “menyembuhkan dirinya sendiri” seseorang secara sadar harus menentukan tujuan dari setiap usaha yang dilakukannya.

Misal, seseorang memutuskan pergi ke kawasan Puncak dengan maksud melepaskan kepenatan setelah bekerja keras menyelesaikan sebuah project. Ia memilih Puncak karena di sana ia bisa menjauh dari suasana bising, dapat menikmati aroma pepohonan, menenangkan pikiran dengan menaiki perbukitan. Dia tahu, sepulangnya dari Puncak, otaknya akan kembali segar dan siap kembali beraktivitas. Maka di situlah ia sudah berhasil melakukan self-healing-nya.

Namun, jika seseorang pergi ke Puncak tanpa tujuan tertentu, pokoknya bisa cari makan dan kongkong-kongkow bersama teman-temannya, itu bukanlah “self-healing”, melainkan “sekadar  mencari hiburan”.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah proses self healing adalah perencanaan yang tepat. Jika kita sudah tahu bahwa Puncak pada saat long weekend biasanya macet parah di mana-mana, lalu kenapa harus mengambil risiko terjebak di dalamnya? Alih-alih mau self-healing, yang didapat malah kemacetan berjam-jam yang bikin kepala pusing dan pikiran tambah sinting. ***

 

Ilustrasi Foto: ANTARA